Korupsi

klik pada gambar slide untuk membaca artikel saya..... salam demokrat!!!!!

Fenomena Boys/Girls Band di Indonesia

G

untuk langsung membuka artikel pada gambar slide , klik dua kali pada judul artikel

Yogyakarta Punya Transjogja

klik gambar untuk lihat artikel gan!!!!

Karl Marx "materialisme Sejarah"

belajar bareng yak..

Pelajaran sosiologi pelajaran yang menyenangkan

jangan lupa tinggalkan koment yak...

Komunikasi antar budaya

jangan lupa tinggalkan koment yak...

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapoora

jangan lupa tinggalkan koment yak...

usaha peningkatan kompetensi profesionalisme guru

jangan lupa tinggalkan koment yak...

Pertumbuhan Pranata Sosial

jangan lupa tinggalkan koment yak...

PEMOGOKAN

jangan lupa tinggalkan koment yak...

Selasa, 29 Maret 2011

usaha peningkatan kompetensi profesional guru



KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI GURU ”SEBUAH PEMIKIRAN”
Oleh : basid ridhowan
Abstrak: Kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah Kompotensi profesional, kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Kompetensi personal, kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky.” Guru terpanggil untuk bersedia belajar bagaimana mengajar dengan baik dan menyenangkan peserta didik dan terpanggil untuk menemukan cara belajar yang tepat. Katakan saja, menjadi guru bukan hanya suatu profesi yang ditentukan melalui uji kompentensi dan sertifikasi saja, tetapi menyangkut dengan hati, artinya sejak semula mereka sudah bercita-cita menjadi guru, guru yang mengenal dirinya, dan sebagai panggilan tugas kemanusian yang muliah yang diikuti dengan penghargaan yang profesional pula. Kata Kunci : Guru berkompetsni. Sertifikasi, dan profesional
A. Pendahuluan
Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru dan dosen merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru dan dosen yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan [UU No.14Thn 2005:2]
Pendapat akhir pemerintah atas Rancangan UU tentang guru dan dosen yang disampaikan pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, cukup menjanjikan kualitas pendidikan Indonesia dengan guru-guru yang profesional, memiliki kompetensi dan disertfikasi sebagai jabatan profesi guru. Tetapi, konsep dan Undang-Undang, berbicara pada dataran edial, tetapi realitas pendidikan yang dihadapi saat ini berbicara lain. Katakan saja, berita dari dunia pendidikan yang menggetarkan para pengguna pendidikan: Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian
1
diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau budangnya [Kompas, 9/12/2005]. Dengan kondisi, berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? [Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006]. Keempat, fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17.2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index [Satria Dharma:From:http:// suarakita. com/artikel. html]. Apabila data ini valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut dalam dunia pendidikan selama ini.
Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat [Purwanto; From.http: //www. pustekkom.go.id]. Tetapi, data dan kondisi di atas, cukup memprihatikan kita. Mungkin kita bertanya, apa yang diperbuat selama ini dalam dunia pendidikan kita? Padahal, setiap ganti mentri, mesti ganti kebijakan dalam dunia pendidikan, tetapi kondisi dan realitas tenaga guru yang disebutkan di atas adalah merupakan suatu berita yang mencengangkan dan bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru dapat menjadi profesional? Harus disadari kondisi guru seperti pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama.
Kondisi di atas membuat kita bertanya, apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem rekruiting guru. Siapakah mereka itu? Apakah mereka adalah para calon guru atau mereka-mereka yang sedang belajar untuk menjadi guru. Apakah mereka itu sejak semula bercita-cita menjadi guru ataukah lantaran tidak dapat masuk ke fakultas yang dicita-citakan, lantas memaksa diri untuk menjadi guru yang tidak sesuai dengan pilihannya? Apakah kegagalan mereka untuk memasuki fakultas nonkeguruan merupakan indikasi bahwa mereka tidak 2
mempunyai kemampuan yang mencukupi? Apabila demikian, apakah mereka dapat dikatakan terdampar menjadi guru? Ini adalah persoalan serius yang dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi dan profesionalisme guru. Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru? [Baca: Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006].
B. Idealisme dunia guru sebagai tenaga kependidikan
Guru bukanlah seorang tukang dan perkerjaan ”sambilan”, tetapi seorang intelektual yang harus menyesuaikan diri dengan situasi dan persoalan yang dihadapi. Apabila pendidikan di Indonesia ini ingin maju dan berhasil, maka memang para guru, yang menjadi ujung tombaknya harus sungguh profesional, baik dalam bidang keahliannya [kompetensi], dalam bidang pendampingan, dan dalam kehidupannya yang dapat dicontoh oleh sisiwa [Paul Suparno,2004:vii].
Guru perlu melakukan beberapa usaha yang dilakukan untuk membangun kompetensi : Pertama, guru harus memiliki rasa tidak puas dengan keadaan atau dengan apa yang telah diperoleh, terutama sekali dalam bidang usaha mengajar. Kedua, guru harus dapat memahami anak sebagai pribadi yang unik, yang satu sama lain memiliki kekuatan dan kecerdasannya masing-masing. Ketiga, sebagai guru dituntut untuk menjadi pribadi yang fleksibel dan terbuka. Fleksibel menghadapi situasi yang selalu maju dalam dunia pendidikan [Agus Listiyono:From:www.kompas.com]. Keempat, guru harus merasa terpanggil untuk menekuni profesinya sebagai guru, dan bukan pekerjaan ”sambilan”.
Rasa terpanggil dengan profesi guru, David Hansen dalam bukunya The Call to Teach [1995], mengungkapkan bahwa menjadi guru adalah panggilan hidup. Menurutnya, ada dua segi dalam panggilan, yaitu : Pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain [ada unsur sosial], dan pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri kita sebagai pribadi [Paul Suparno,2004:9]. Jelas pekerjaan guru terlibat dengan suatu pekerjaan yang mempunyai arti dan nilai sosial, yaitu berguna bagi perkembangan orang lain. Dalam pekerjaan guru,
3
sangat jelas bahwa mereka melakukan sesuatu pekerjaan yang berguna bagi perkembangan hidup anak-anak, di lingkungan sekolah dan bahkan menyarakat dimana mereka tinggal. Dengan menjalankan tugas sebagai guru yang baik, dengan membantu anak-anak berkembang dalam semua aspek kehidupan, seorang guru semakin merasa hidup berarti, semakin menemukan identitas dirinya, semakin merasakan kepuasan batin yang mendalam [Paul Suparno,2004:11-12].
Apakah cukup itu idealisme seorang guru yang profesional. Hemat penulis, guru haruslah berusaha untuk meningkatan kualitas dan memenuhi kompetensinya. Guru harus selalu berusaha untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: memahami tuntutan standar profesi, jika ingin meningkatkan profesionalismenya, mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, membina jaringan kerja atau networking, yang akan memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya, mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada pengguna pendidikan. Guru, memberikan pelayanan prima kepada pengguna pendidikan: siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Tugas guru, termasuk pelayanan publik vang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Maka, guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik, guru harus berusaha mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi agar tidak ketinggalan atau “gaptek” [gagap teknologi] dalam kemampuannya mengelola pembelajaran [baca:Purwanto, http://www.pustekkom...,]. Maka, sikap yang harus senantiasa dipupuk dan dimiliki guru adalah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, kesedian untuk mengenal profesinya, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru dan bukan pekerjaan sambilan.
Guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab [UU No.14Th.2005:psl.6].
4
Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: Memiliki bakat, minat, penggailan jiwa, dan idealisme. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimaman, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Memperoleh pengahsilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesional, dan memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan fungsi keprofesionalan guru [UU No.14 Th.2005:psl.7].
Esensi penlindungan hukum jabatan profesi guru dan dosen dimaksud untuk : [1] memberikan jaminan kepastian bagi peserta didik, orang tua dan masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu, [2] memberikan jaminan pada tersedianya calon guru dan dosen yang profesional kerana jabatan guru dan dosen akan kembali dihormati dan dihargai secara layak, [3] memberikan jaminan bahwa jabatan/pekerjaan guru dan dosen akan menjadi jabatan yang menarik dan kompetitif, [4] memberikan jaminan bahwa para guru dan dosen akan memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggungjawab, [5] meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab profesionalitas guru dan dosen dalam bekerja dengan terus-menerus berusaha meningkatkan kompetensi profesionalitasnya, [6] memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dan dosen untuk memperoleh hak-haknya sebagai pengemban profesi yang tidak saja layak secara manusiawi, tetapi juga sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya, [7] memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dan dosen dalam menghadapi ancaman dan/atau tindakan yang tidak manusia dari peserta didik, orang tua/wali siswa, dan anggota masyarakat, dan [8] menjamin kesetaraan semua satuan pendidikan antara satuan pendidikan yang
5
diselenggarakan oleh pemerintah [Pendapat Akhir Pemerintah,2005, dalam UU No.14Th.2005:3].
C. Standan Kompetensi Guru
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi persolan atau kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi [UU No.14 Th.2005:psl. 8 dan 10]. Depdiknas, [2001], merumuskan beberapa kompetensi atau kemampuan yang sesuai seperti, kompetensi kepribadian, bidang studi, dan kompetensi pada pendidikan/pengajaran [Paul Suparno, 2004:47]. Kompetensi ini, berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga memberikan teladan hidup kepada siswa. Berdasarkan hasil penelitian, banyak guru kita masih rendah dalam kompetensi pengajaran, maka dalam pendidikan profesi dan sertifikasi kemampuan keterampilan mengajar harus diutamakan [Paul Suparman, KR,15/11/2005:10].
Standar kompetensi yang diperlukan seorang guru dalam menjalankan pekerjaannya adalah: Kompetensi bidang substansi atau bidang studi. Mengharuskan guru untuk menguasai kurikulum, menguasai materi pelajaran, memahami kebijakan-kebijakan pendidikan, pemahaman pada karakteristik dan isi bahan pembelajaran, menguasai konsepnya, memahami konteks ilmu tersebut dengan masyarakat dan lingkungan, memahami bagaimana dampak dan relasi ilmu tersebut dalam kehidupan masyarakat dan dengan ilmu yang lain [Paul Suparno, 2004: 51]. Kompetensi bidang pembelajaran. Menguasai teknik pengelolaan kelas dan metode mengajar. Kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan. Mencakup aktualisasi diri, kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral, peka, objektif, luwes, berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat”, dan Kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat. Dapat berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan masalah, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat [Baca: Purwanto, http://www. pustekkom].
6
Tugas guru merupakan pekerjaan yang cukup berat dan mulia, karena selain memperoleh amanah dan limpahan tugas dari masyarakat dan orang murid, guru juga harus memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan dan kebudayaan, keterampilan menjalani kehidupan [life skills], nilai-nilai [value] dan beliefs. Dari life skills, guru diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi proses pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency, sehingga outputnya jelas. Guru dituntut memiliki kompetensi bidang keilmuan dan kompetensi bidang keguaruan. Guru dituntut meningkatan kinerjanya [performance], meningkatkan kemampuan, wawasan, serta kreativitasnya.
Bagaimana guru ideal yang dibutuhkan untuk mencapai kualitas pendidikan. Kata kuncinya, adalah guru harus diajak berubah dengan dilatih terus menerus. Guru harus terus ditingkatkan sensifitasnya dan kreatifitasnya. Kemampuan guru mengembangkan kepekaan paedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran dan kualitas pendidikan. Guru harus benar-benar kompeten pada bidangnya dan memiliki komitmen tinggi pada profesinya. Kompetensi guru yang dibicarakan sebenarnya merupakan pengejewantahan dari falsafah dan prinsip pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro, yang mencakup Tut Wuri Handayani [dibelakang memberi dorongan], Ing Madyo Mangun Karso [di tengah membangun prakarsa], dan Ing Ngarso Sung Tulodo [di sepan meberi keteladanan] [Pendapat Akhir Pemerintah, 2005:4]. Tetapi konsep dasar Ki Hajar Dewantoro ini, kadang hanya menjadi ”selogan” pendidikan dan dilupakan dalam proses pendididkan. Aspek kompetensi secara serius digali dari konsep dasar Ki Hajar Dewantoro tersebut, sebanranya kompetensi guru dan pendidikan kita sudah jauh lebih berkualitas dan maju.
D. Langkah, Tujuan dan Sasaran Sertifikasi Guru
Langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru adalah untuk meningkat kualitas guru sesuai dengan kompetensi keguruannya. Dalam UU guru ada beberapa hal yang dapat dikelompokan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas atau mutu guru antara lain: [1] sertifikasi guru, [2] pembaharuan sertifikat, [3] beberapa fasilitas untuk memajukan, diri [4] sarjana nonpendidikan
7
dapat menjadi guru. Semua guru harus mempunyai sertifikat profesi guru, sebagai standar kompetensi guru.
Sertifikasi guru jangan dipandang sebagai satu-satunya jalan atau sebagai satu-satunya alat ukur mutu guru. Sebab sertifikasi guru belum tentu menjamin peningkatan kualitas guru. Maka, birokrasi dalam hal ini pemerintah jangan hanya memikirkan agar guru dapat disertifikasi dan dipaksa menjadi baik secara ”instan” dengan mengabaikan kondisi guru. Sebab, jika kesiapan para guru dan lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensinya, kesejahteraan guru kurang layak, maka sulit diharapkan perubahan dapat terjadi. Secara makro hal ini disebabkan karena secara nasional maupun lokal guru tidak ditempatkan sebagai SDM yang strategis untuk melakukan perubahan. Disamping kualitas guru yang masih rendah, mereka juga masih dibayar rendah.
Dari hasil riset lapangan, banyak guru mengatakan bahwa sertifikasi profesi guru sangat baik dan dapat mengangkat derajat dan wibawa para guru di Indonesia. Tetapi, dalam penerapannya ada hal yang perlu diperhatikan yaitu : [1] kebanyakan guru di Indonesia setelah menjadi pengajar tidak memperdalam pengetahuannya. Artinya, banyak guru kita masih rendah dalam kompetensi pengajaran, [2] harus dipertimbangkan model yang bagaimana yang tepat untuk guru-guru di Indonesia, dan kesiapan para guru untuk disertifikasi, [3] perlu dilakukan pelatihan-pelatihan sebelum sertifikasi dilaksanakan dan perlu dipikirkan tindak lanjut bagi guru yang tidak lolos sertifikasi, [4] apabila kebijakan sertifikasi tersebut dilakukan secara ”mentah” dan ”instan”, tanpa sosialisasi dan pelatihan-pelatihan akan merugikan para guru yang sudah cukup lama mengabdi [Hasil wawanancara].
Pandangan lain diperoleh dari para guru, yaitu penghargaan terhadap guru belum sebanding dengan beberapa profesi lain [seperti profesi dokter, dan lain-lain]. Hal ini menjadi permaslah mendasar bagi profesi guru itu sendiri, yaitu: Pertama, persoalan yang mendasar adalah kebanyakan guru yang belum memenuhi kualifikasi minimal untuk mengajar, baik dari segi ilmu maupun keterampilan. Kedua, penghasilan guru yang kurang memadai apabila
8
dibandingkan dengan penghasilan profesi lain dan hal ini berimbas pada profesi guru itu sendiri kurang diminati. Profesi guru tidak lebih dari sebuah pekerjaan ”terpaksa” dilakukan ketika tidak mampu menemukan pekerjaan lain yang ”lebih baik”. Sebagai contoh saja, seorang guru akan segera berpindah pada pekerjaan lain, ketika mendapatkan kesempatan bekerja ditempat lain yang menjanjikan dan memberikan fasilitas serta penghasilan yang lebih memadai. Menurut mereka, hanya beberapa - ”segelintir” – guru yang menyenangi dan menekuni profesinya karena memiliki sumber pengahsilan lain. Ketiga, banyak guru yang tidak memiliki standar kualifikasi yang dituntut oleh masyarakat. Menurut mereka, bahwa seorang guru – berbeda dengan profesi dokter, akuntan, dan pengacara – sangat banyak bekerja dengan mengandalkan keterampilan berelasi. Guru banyak dituntut untuk bekerja dalam suatu tim kerja, berinteraksi secara intensif setia hari dengan siswa dan berkomunikasi dengan orang tua siswa. Keempat, guru kurang dihargai, karena pekerjaan yang diembannya dianggap kurang membutuhkan keterampilan yang sangat khusus dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi profesional [Hasil wawanancara]
Para guru, mengatakan apabila program sertifikasi ini dapat secara langsung menjawab persoalan-persoalan di atas, akan membuat profesi guru menjadi baik, pekerjaan guru akan menjadi sebuah profesi yang menarik dan dikejar orang. Tetapi, tampaknya program tersebut tidak akan sanggup menjawab beberapa persoalan mendasar dari profesi guru itu sendiri. Maka kritik yang disampaikan mereka, apabila yang dipercaya sebagai perancang program ini adalah sejumlah universitas eks IKIP, ini menjadi pertanyaan, mengapa mereka yang tidak berhasil mengangkat martabat guru dan bahkan merubah IKIP menjadi universitas, kenapa dijadikan dan dilibatkan dalam penyusun program nasional yang sedemikian penting? [Hasil wawanancara]
Mengenai sasaran sertifikasi guru, dilaksanakan untuk semua guru, baik guru lama maupun calon guru. Bagi guru yang lama perlu diberikan pelatihan-petihan profesi keguruan baru dilakukan ujian sertifikasi. Bagi calon guru yang berkualifikasi Sarjana kependidikan perlu mengikuti program sertifikasi guru
9
dengan menempuh beberapa mata kuliah dalam kurikulum S1 kependidikan atau yang SKS-nya belum setara dengan kurikulum program sertifikasi. Sedangkan bagi calon guru yang berkualifikasi sarjana atau Diploma non-kependidikan wajib menempuh program sertifikat guru dengan mengambil seluruh kurikulum program sertifikat guru.
Agar sertifikasi itu sungguh bermutu, ujian profesi keguruan harus objektif, bebas dari ”kkn”, dan ”suap”. Katakan saja, bila guru dan calon guru dalam ujian sertifikasi memang terbukti tidak kompetens dan tidak lulus, tidak mendapatkan sertifikat [Paul Suparno, KR:15/11/2005:10]. Kemudian guru tersebut, ”diparkirkan” atau diistirahatkan sementara untuk mengikuti pelatihan kompetensi keguruan dan kemudian diuji kembali. Dengan demikian, keobjektifan dalam penilaian sangat penting, sehingga tidak terjadi orang mendapatkan sertifikat dengan cara membeli, koneksi atau ”koncoisme”. ”Bila hal ini terjadi, maka mutu guru tetap tidak terjamin dan pendidikan tetap terpuruk” [Paul Suparno, KR:15/11/2005:10].
Selain itu, agar sertifikasi itu sungguh menunjukkan kemampuan dan keterampilan guru dalam mengajar dengan segala kompetensi yang dimiliki. ”Badan sertifikasi” guru sungguh harus objektif untuk menguji dan menilai sertifikasi guru. Tapi pertanyaan mendasar yang dikemukakan Paul Suparno di atas, apakah badan tersebut benar-benar ”objektif” untuk menguji kompetensi dan sertifikasi. Pertanyaan, lembaga mana yang dapat ditunjuk secara ”objektif” untuk diberikan kualifikasi melakukan sertifikasi dan uji kompetensi guru? Maka, untuk menguji kompetensi dan sertifikasi, diperlukan suatu ”lembaga” atau ”badan independen” yang akan menilai kompetensi guru. Perhatikan, kritik yang disampaikan para guru di atas, ”apabila sejumlah universitas eks IKIP dipercaya sebagai perancang program ini, dipertanyakan”. Kritik para guru tersebut, perlu menjadi pertimbangan untuk menunjuk lembaga penyelenggaran uji sertifikasi.
Aspek sertifikasi guru yang akan diuji adalah mengacu pada kompetensi dasar yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, persolan, kepribadian, dan sosial. Pertama, kompetensi profesional, aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan mengajar, meliputi kemampuan
10
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, penyusunan program perbaikan dan pengayaan, kemampuan dalam membimbing dan konseling. Kemampuan dalam bidang keilmuan, terkait dengan keluasan dan kedalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan ditransformasikan kepada peserta didik, pemahaman terhadap wawasan pendidikan, dan kemampuan memahami kebijakan-kebijakan pendidikan. Keduan, kompetensi persolan, aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan aktualisasi diri dan menekuni profesi, jujur, beriman, bermoral, peka, luwes, humanis, berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat. Ketiga, kompetensi kepribadian, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kondisi guru sebagai individu yang kepribadian yang utuh, mantap, dewasa, berwibawa, berbudi luhur dan anggun moral, serta penuh keteladanan. Keempat, kompetensi sosial, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, kemampuan menyelesaikan masalah, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat.
Proses sertifikasi para guru sebaiknya ditangani oleh lembaga atau badan independen yang kompetensi dan objektif. Katakan saja, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] yang merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan ilmu pendidikan dan keguruan, memiliki kewenangan dan pengalaman pengadaan tenaga kependidikan, serta memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang kependidikan dan nonkependidikan. Lembaga tersebut harus didukung dengan berbagai sarana kependidikan, seperti Sekolah Laboratorium, Pusat Sumber Belajar, Praktek Pengalaman Lapangan, dan Pusat Penelitian Kependidikan.
Hemat penulis, uji kompetensi dan sertifikasi harus dilakukan secara ”by proses” dan bukan ”instan”. Katakan saja, dari pengamatan di lapangan tentang uji dan evaluasi pendidikan dan pembelajaran, biasanya kita terpaku pada hasil pembelajaran dan mengbaikan proses pelaksanaan secara ”holistik”. Contoh terdekat, adalah Ujian Akhir Nasional [UAN] bagi siswa-siswa yang menuai protes dan bahkan merenggut beberapa nyawa siswa karena kecewa. Maka, 11
apabila uji kompetensi dan sertifikasi guru juga pelaksanaan seperti itu dan aspek-aspek kompetensi hanya diujikan dengan sistem tes saja, ”apalagi yang kurang atau tidak objektif”, maka hal itu tentu belum menjamin kepastian tingkat kompetensi dan sertifikasi sebagai profesi guru.
Agar sertifikasi itu dapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan guru dalam mengajar, maka uji kompetensi dan sertifikasi harus dilakukan secara ”by proses”. Artinya, bagi para guru yang berasal dari ”fakultas keguruan” sebelum diuji perlu disegarkan kembali pada aspek ”materi keilmuan”, ”keterampilan dan strategi mengajar”. Sedangkan bagi guru-guru yang berasal dari nonkependiddikan, sebelum uji kompetsnsi dan sertifikasi, perlu dilakukan pelatihan atau mengambil pendidikan profesi keguruan dengan bobot sejumlah 36 – 40 sks. Aspek materi keguruan, yang dipelajari : Ilmu Pendidikan atau Landasan Pendidikan, Metode dan Strategi Pembelajaran, Psikologi Perkembanagan, Perencanaan Pembelajaran, Evaluasi Pembelajaran, Psikologi Belajar, Media Pembelajaran, Bimbingan dan Konseling, Komunikasi Pendidikan, Profesi Keguruan, Telaah Pengembangan Kurikulum, Penelitian dan Evalusi Sistem Pendidikan, serta Praktek Pengenalan Lapangan [PPL]. Setelah itu baru dilakukan uji profesi atau kompetensi dan sertifikasi. Apabila proses ini dilakukan secara terencana, sistimatik, dan objektif, serta terhindar atau bebas dari KKN, ”suap” atau dengan cara ”membeli sertifkat”, maka mutu keilmuan guru dikemudian hari akan meningkat dan kualitas dan kompetsnsi guru dapat dipertanggungjawabkan.
Cacatan akhir sebagai sebuah renungan, sertifikasi dan kompetensi itu penting, tetapi pendidikan lebih dari itu. Pendidikan pascamodern tidak lagi mono-sentralistik. Pusat-pusat pengembangan dapat saja berada di mana-mana [J.Bismoko, KR, 3/12/2005, hlm.12]. Katakan saja, sumber ilmu pengetahuan yang selama ini dianggap terpusat pada institusi pendidikan formal yang konvensional, mungkin saja akan tergeser. Sebab, sumber ilmu pengetahuan akan tersebar di mana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan kerena diperoleh melalui sarana ”internet” dan ”media informasi” lainnya. Paradigma ini dikenal dikenal sebagai distributed
12
intelligence [distributed knowledge]. Dengan paradigma ini, tampaknya fungsi guru/dosen/lembaga pendidikan akan beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dari ilmu pengetahuan [Hujair AH. Sanaky, 2004: 94]. Hal ini, menunjukan bahwa di masa depan sekolah akan berubah dari format kelas menjadi sekolah bersama dalam satu kota, sekolah bersama dalam satu negara, bahkan bersama di dunia atau sekolah global [Baca:Purwanto, http://www.pustekkom]. Pertanyaan, guru seperti apa yang dibutuhkan dalam model pembelajaran seperti itu?
E. Catatan Penutup
Sertifikasi guru, merupakan kebijakan yang sangat strategis, karena langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidiakan di Indonesia.
Sikap yang harus dibangun para guru dalam kompetensi dan sertifikasi ini adalah profesionalisme, kualitas, mengenal dan menekuni profesi keguruan, meningkatkan kualitas keguruan, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru, kerasan dan bangga atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi keguruan.
Sertifikasi guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun, sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang menjamin kualitas guru. Sangat tidak tepat apabila pemerintah memaksakan program ini menjadi program yang ”instan”, sementara lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika program ini dipaksakan secara ”instan”, maka sulit diharapkan sebuah perubahan yang signifikan akan terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Hal yang penting adalah membangun ”kesadaran” dan ”budaya” bahwa guru adalah ”ujung tombak”, memiliki peran yang besar, merupakan faktor penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, yang didukung dengan kesejahteraan guru yang layak dan memadai, sehingga mau
13
tidak mau, senang tidak senang, guru harus meningkat diri dengan profesi yang ditekuninya. Dengan demikian, kata kuncinya semua kebijakan yang dilakukan untuk meningkat kualitas, kompetsnsi dan sertifikasi guru adalah ”by proses” dan bukan ”instan
14
DAFTAR PUSTAKA
Bismoko, J., Standarisasi dan Sertifikasi Guru: Modern, Sektarian, Politis, Kedaulatan Rakyat, Kolom OPINI, 3 Desember 2005.
Hasil Observasi dan Wawancara Mahasiswa Program Akta IV, Angkatan XVIII, Jurusan Tarbiyah UII, dengan bebarapa Guru di Yogyakarta, tentang Pandangan Para Guru Terhadap Kebijakan Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Juni - Juli 2005.
Listiyono, Agus, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Guru, From:http:// www.kompas. com/kompas-cetak/0311/03/Didaktika/659708.htm. akses, Rabu, 13 April 2005.
Poedjinoegroho E, Baskoro, 2005, Guru Peofesional, Adakah?, Kompas, 5 Januari 2006, kolom, 7.
Purwanto, Profesionalisme Guru, From: http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t10/10-7.htm, akses, senin, 14-2-2005.
Sanaky, Hujair AH., 2004, Tantangan Pendidikan Islam di Era Informasi [Pergeseran Paradigma Pendidikan Islam Indonesia di Era Informasi], Jurnal Stusi Islam MUKADDIMAH, Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY, No. 16TH.X/2004, ISSN:0853-6759, Yogyakarta.
Sudibyo, Bambang dan Hamid Awaludin, 2005, Pandapat Akhir Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, Disampaikan pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang R.I. Nomor. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
Suparno, Paul, 2004, Guru Demokratis di Era Reformasi, Grasindo, Jakarta.
-----------,2005, Dampak RUU Guru Terhadap Kualitas dan Kesejahteraan Guru, Kedaulatan Rakyat, 15/11/2005, Yogyakarta.
Undang-Undang R.I. Nomor. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
15

SIRNA BY THREETIMES



JUDUL LAGU: SIRNA
OLEH: THREETIMES BAND
CIT: TEWEH T.T

INTRO: G,D,EM,C 2X
kau harus tahu dulu, kita saling mencinta dan tak ada dusta
G D EM C
KAU HARUS TAHU DULU, SLALU TERUCAP KATA KAU TAKKAN BERUBAH
G D EM C

KAU HARUS TAHU AKU,, AKAN SLALU MENUNGGU SAAT INDAH ITU
G D EM C
KAU HARUS TAHU AKU,,BETAPA ERIH HATI DAN ERASAAN AKU
G D EM C

#: G,D,EM,C 2X

SAAT AKU TAHU KAMU,, TAK SETIA PADAKU,,DISAAT KU JAUH
G D EM C
KAU MUNGKIN TAHU SLALU, KUMEMIKIRKAN DIRIMU,, KAUUN TAK BEGITU
G D EM C

REFF: TAK ADA SATUPUN KATA, YANG BISA TERANGKAN PERA,,,SAAN KUKECEWA
G D EM C
TAK ADA SATUPUN PINTA, YANA BISA SEMBUHKAN LUKA,, KUINGIN KAU SIRNA
G D EM C


KAU HARUS TAHU AKU,, AKAN SLALU MENUNGGU SAAT INDAH ITU
G D EM C
KAU HARUS TAHU AKU,,BETAPA ERIH HATI DAN ERASAAN AKU
G D EM C

BACK TO REFF: 2X

pertumbuhan pranata sosial



Pertumbuhan Pranata Sosial
Keberadaan pranata sosial dalam kehidupan masyarakat, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat statis. Karena fungsinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang beraneka ragam dan selalu berubah-ubah, maka pranata sosial pun dapat mengalami perubahan sesuai dengan fungsinya tersebut. Perubahan pada pranata sosial dapat terjadi pranata sosial tertentu sudah tidak memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara keseluruhan, maka pranata sosialtersebut harus diubah. Proses perubahannya itu berlangsung dalam interaksi di dalam masyarakat. Perubahan pranata sosial tidak dapat dilakukan oleh seseorang, sekalipun orang tersebut memiliki kekuasaan. Karena itu, walaupun pranata sosial bisa berubah tetapi dalam kenyataannya sulit dilakukan. Hal ini sangat tergantung pada beberapa hal seperti:
1. Proses internalisasi pranata sosial yang dialami sejak lahir sampai meninggal, merupakan
proses waktu yang relatif lama.
2. Adanya kontrol sosial, yang pada dasarnya merupakan suatu mekanisme dalam kehidupan
masyarakat yang dijalankan untuk menjamin agar individu mematuhi norma-norma yang
berlaku.
Dalam hal ini antara internalisasi dan kontrol sosial mempunyai kaitan yang sangat erat
dimana keduanya berlangsung dalam suatu proses interaksi sosial. Sedangkan perbedaannya
internalisasi menghasilkan kepatuhan pada individu baik melalui paksaan atau rayuan berbagai
pihak dalam masyarakat.
Norma Sosial
Tentunya Anda sudah tidak merasa asing dengan kata norma sosial atau lebih dikenal
dengan aturan-aturan dalam masyarakat. Sebelum mempelajari norma sosial, Anda harus
memahami terlebih dulu perbedaan antara norma dengan nilai. Norma merupakan pedoman atau
patokan bagi perilaku dan tindakan seseorang atau masyarakat yang bersumber pada nilai.
Sedangkan nilai adalah merupakan hal yang dianggap baik atau buruk atau sebagai penghargaan
yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang mempunyai daya guna bagi kehidupan
bersama. Dengan kata lain, norma adalah wujud konkrit dari nilai yang merupakan pedoman,
berisi suatu keharusan bagi individu atau masyarakat, dapat juga norma dikatakan sebagai cara
untuk melakukan tindakan dan perilaku yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai-nilai.
Contoh:
Pa Dadang mengendarai motor dengan kecpatan 80 km/jam. Pa Bagja mengendarai mobil di
jalan tol dengan kecepatan yang sama.
Dari dua contoh tersebut, siapakah yang melanggar norma? Marilah kita buat kesimpulan
tentang norma sosial. (1) perilaku sama tetapi norma dapat berbeda; (2) perilaku sama
mendapatkan/ tidak sanksi; (3) norma sosial tidak berlaku universal; (4) norma sosial dibatasi
waktu dan tempat; dan (5) norma sosial ada yang bersifat universal.
Anda telah mengetahui bahwa nilai adalah ‘ukuran’ yang dihargai oleh masyarakat. Jadi
nilai adalah sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu, untuk melaksanakan nilai, diperlukan norma
sebagai pedoman berprilaku, baik berupa suatu keharusan, anjuran maupun larangan. Dengan
kata lain, norma sosial ialah ukuran sosial yang menentukan apa yang harus dilakukan, apa yang
harus dimiliki, dipercayai, dan dikehendaki oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat.
Norma merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Bila nilai
adalah sesuatu yang baik, diinginkan dan dicita-citakan oleh masyarakat, maka norma
merupakan aturan bertindak atau berbuat yang dibenarkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Norma dianggap positif apabila dianjurkan atau diwajibkan oleh lingkungan sosialnya.
Sedangkan norma dianggap negatif, apabila tindakan atau perilaku seseorang dilarang dalam
lingkungan sosialnya. Karena norma sosial sebagai ukuran untuk berprilaku, maka diperlukan
adanya sanksi bagi individu yang melanggar norma. Mengapa seseorang yang melanggar norma
harus diberikan sanksi? Karena seseorang yang melanggar norma harus diberikan penyadaran
bahwa perbuatannya tersebut tidak sesuai dengan aturan.
Norma merupakan patokan berperilaku agar terjadi keteraturan di masyarakat. Norma
muncul dan tumbuh dari proses kemasyarakatan, sebagai hasil dari proses bermasyarakat. Pada
mulanya, norma-norma yang terdapat dalam masyarakat terbentuk secara tidak sengaja. Namun,
lama-kelamaan norma tersebut dibuat secara sadar. Contoh: dahulu di dalam jual-beli, seorang
perantara tidak harus diberi bagian dari keuntungan. Akan tetapi, lama-kelamaan terjadi
kebiasaan bahwa perantara harus mendapat bagiannya, bahkan selanjutnya ditentukan siapa yang
harus menanggung pembagian tersebut, penjual atau pembeli; contoh lain, misalnya dahulu
orang meminjamkan uang didasarkan pada saling percaya, tetapi setelah terjadinya
penyelewengan-penyelewengan maka ditetapkanlah secara perjanjian tertulis sebagai
jaminannya.
Unsur pokok norma sosial adalah tekanan sosial terhadap setiap anggota masyarakat untuk
menjalankan norma. Apabila di masyarakat terdapat suatu aturan, tetapi tidak dikuatkan oleh
desakan sosial, maka aturan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai norma sosial. Karena itu
aturan dapat dikatakan sebagai norma sosial apabila mendapat sifat kemasyarakatannya yang
dijadikan patokan dalam tindakan atau perilaku. Masyarakat memiliki dua arti norma, yaitu:
norma budaya sebagai aturan terhadap perilaku individu atau kelompok yang diharapkan oleh
masyarakat; dan norma statis suatu ukuran perilaku yang sebenarnya berlaku di masyarakat, baik
yang disetujui atau tidak.
Norma sosial kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah dan kuat
kekuatan mengikatnya. Berdasarkan kekuatannya tersebut, terdapat empatjenis norma, yaitu:
1. Cara (usage), penyimpangan terhadap cara tidak akan mendapat hukuman yang berat, tetapi
hanya celaan.
Contohnya orang yang makna dengan bersuara, cara makan tanpa sendok dan garpu.
2. Kebiasaan (folkways), perbuatan yang diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan
mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dibandingkan dengan cara. Bila tidak
dilakukan dapat dianggap menyimpang dari kebiasaan umum dalam masyarakat.
Contohnya, memberi hormat kepada orang lain yang lebih tua, mendahulukan kaum wanita
waktu antri. .
3. Tata kelakuan (mores), kebiasaan yang dianggap tidak hanya sebagai perilaku saja, tetapi
diterima sebagai norma-norma pengatur.
4. Adat istiadat (custom), yaitu tata kelakuan yang menyatu dengan pola-pola perilaku
masyarakat dan memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar, sehingga apabila dilanggar
maka mendapat sanksi dari masyarakat.
Walaupun kekuatan norma bersifat mengikat dan memaksa akan tetapi pengetahuan dan
keadaan yang baru dapat menyebabkan perkembangan norma sosial. Karena itu, norma sosial
bukan sesuatu ketentuan yang tetap tetapi berubah dari waktu ke waktu.
Dalam masyarakat dikenal tiga norma yang mengatur pola perilaku setiap individu, yaitu:
1. Norma tidak tertulis yang dilakukan (informal) masyarakat dan telah melembaga, lambat laun
akan menjadi peraturan tertulis. walaupun sifatnya tidak baku tetapi tergantung pada
kebutuhan di masyarakat, hal ini dapat juga merupakan gabungan dari folk-sway dan mores,
seperti pembentukan keluarga, cara membesarkan anak. Dari lembaga sosial terkecil sampai
masyarakat, akan mengenal norma perilaku, nilai cita-cita dan sistem hubungan sosial.
Karena itu suatu lembaga akan mencakup:
a. seperengkat pola perilaku yang telah distandarisasi dengan baik;
b. serangkaian tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung; dan
c. sebentuk tradisi, ritual, upacara simbolik dan pakaian adat serta perlengkapan yang lain.
2. Norma tertulis (formal), biasanya dalam bentuk peraturan atau hukum yang telah dibakukan
dan berlaku di masyarakat. Contoh:
a. Norma ini umumnya berhubungan dengan kepentingan dan ketentraman warga
masyarakat banyak, seperti mengganggu gadis yang lewat, bergerombol di gang.
b. Norma ini bertujuan mengatur dan menegakkan kehidupan masyarakat, agar merasa
tentram dan aman dari segala gangguan yang dapat meresahkannya. Norma ini disebut
juga peraturan atau hukum. Seseorang yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan
dan disetujui masyarakat, maka orang yang bersangkutan akan dikenakan sanksi.
3. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan individu atau sekelompok masyarakat berupa iseng
atau meniru tindakan orang lain. Norma ini akan mengaturnya sepanjang perbuatan tersebut
tidak menyimpang dari norma masyarakat yang berlaku. Contoh: Individu meniru pakaian
atau penampilan anggota kelompok musik tertentu, sebagai idolanya; Potongan rambut
gondrong atau dikucir, dan lain-lain, yang sifatnya berupa mode atau fashion yang setiap
waktu senantiasa mengalami perubahan.
Terdapat lima norma yang umumnya berlaku dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
1. Norma kesopanan/etika
Adalah norma yang berpangkal pada aturan tingkah laku yang diakui di masyarakat, seperti
cara berpakaian, cara bersikap dan berbicara dalam bergaul. Norma ini bersifat relatif, berarti
terdapat perbedaan yang disesuaikan dengan tempat, lingkungan, dan waktu. Dengan kata
lain, norma ini merupakan suatu aturan yang mengatur agar masyarakat berperilaku dengan
sopan. Jika terjadi pelanggaran pada norma etika, maka tentu saja akan mendapat sanksi
berupa teguran atau hukuman.
2. Kebiasaan (folkways), perbuatan yang diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan
mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dibandingkan dengan cara. Bila tidak
dilakukan dapat dianggap menyimpang dari kebiasaan umum dalam masyarakat.
Contohnya, memberi hormat kepada orang lain yang lebih tua, mendahulukan kaum wanita
waktu antri. .
3. Tata kelakuan (mores), kebiasaan yang dianggap tidak hanya sebagai perilaku saja, tetapi
diterima sebagai norma-norma pengatur.
4. Adat istiadat (custom), yaitu tata kelakuan yang menyatu dengan pola-pola perilaku
masyarakat dan memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar, sehingga apabila dilanggar
maka mendapat sanksi dari masyarakat.
Walaupun kekuatan norma bersifat mengikat dan memaksa akan tetapi pengetahuan dan
keadaan yang baru dapat menyebabkan perkembangan norma sosial. Karena itu, norma sosial
bukan sesuatu ketentuan yang tetap tetapi berubah dari waktu ke waktu.
Dalam masyarakat dikenal tiga norma yang mengatur pola perilaku setiap individu, yaitu:
1. Norma tidak tertulis yang dilakukan (informal) masyarakat dan telah melembaga, lambat laun
akan menjadi peraturan tertulis. walaupun sifatnya tidak baku tetapi tergantung pada
kebutuhan di masyarakat, hal ini dapat juga merupakan gabungan dari folk-sway dan mores,
seperti pembentukan keluarga, cara membesarkan anak. Dari lembaga sosial terkecil sampai
masyarakat, akan mengenal norma perilaku, nilai cita-cita dan sistem hubungan sosial.
Karena itu suatu lembaga akan mencakup:
a. seperengkat pola perilaku yang telah distandarisasi dengan baik;
b. serangkaian tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung; dan
c. sebentuk tradisi, ritual, upacara simbolik dan pakaian adat serta perlengkapan yang lain.
2. Norma tertulis (formal), biasanya dalam bentuk peraturan atau hukum yang telah dibakukan
dan berlaku di masyarakat. Contoh:
a. Norma ini umumnya berhubungan dengan kepentingan dan ketentraman warga
masyarakat banyak, seperti mengganggu gadis yang lewat, bergerombol di gang.
b. Norma ini bertujuan mengatur dan menegakkan kehidupan masyarakat, agar merasa
tentram dan aman dari segala gangguan yang dapat meresahkannya. Norma ini disebut
juga peraturan atau hukum. Seseorang yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan
dan disetujui masyarakat, maka orang yang bersangkutan akan dikenakan sanksi.
3. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan individu atau sekelompok masyarakat berupa iseng
atau meniru tindakan orang lain. Norma ini akan mengaturnya sepanjang perbuatan tersebut
tidak menyimpang dari norma masyarakat yang berlaku. Contoh: Individu meniru pakaian
atau penampilan anggota kelompok musik tertentu, sebagai idolanya; Potongan rambut
gondrong atau dikucir, dan lain-lain, yang sifatnya berupa mode atau fashion yang setiap
waktu senantiasa mengalami perubahan.
Terdapat lima norma yang umumnya berlaku dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
1. Norma kesopanan/etika
Adalah norma yang berpangkal pada aturan tingkah laku yang diakui di masyarakat, seperti
cara berpakaian, cara bersikap dan berbicara dalam bergaul. Norma ini bersifat relatif, berarti
terdapat perbedaan yang disesuaikan dengan tempat, lingkungan, dan waktu. Dengan kata
lain, norma ini merupakan suatu aturan yang mengatur agar masyarakat berperilaku dengan
sopan. Jika terjadi pelanggaran pada norma etika, maka tentu saja akan mendapat sanksi
berupa teguran atau hukuman.
2. Norma kesusilaan
Norma ini mengatur bagaimana seseorang dapat berperilaku secara baik dengan
pertimbangan moral atau didasarkan pada hati nurani atau ahlak manusia. Norma ini bersifat
universal, dimana setiap orang di seluruh dunia mengakui dan menganut norma ini. Akan
tetapi, bentuk dan perwujudannya mungkin berbeda. Contoh: tindakan perkosaan tentu
ditolak oleh masyarakat di manapun.
3. Norma agama
Didasarkan pada ajaran atau akidah suatu agama. Norma ini menuntut ketaatan mutlak setiap
penganutnya. Dalam agama terdapat perintah dan larangan yang harus dijalankan para
pemeluknya. Apabila seseorang melanggar perintah Tuhannya, maka ia akan mendapat dosa.
Demikian sebaliknya, apabila ia melaksanakan perintah-Nya, maka ia akan mendapatkan
pahala sebagai ganjarannya. Karena agama didasarkan pada suatu keyakinan, maka bagi
masyarakat yang agamis norma ini akan sangat efektif untuk mengatur kehidupan dalam
masyarakat.
4. Norma hukum
Norma ini merupakan jenis norma yang paling jelas dan kuat ikatannya karena merupakan
norma yang baku. Didasarkan pada perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam
suatu masyarakat dengan ketentuan yang sah dan terdapat penegak hukum sebagai pihak
yang berwenang menjatuhkan sanksi. Contoh: seorang terdakwa yang melakukan
pembunuhan terencana divonis oleh hakim dengan dikenakan hukuman minimal 15 tahun.
5) Norma kebiasaan
Didasarkan pada hasil perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama
sehingga menjadi suatu kebiasaan. Contoh: Mudik di hari raya.
Pada dasarnya, setiap anggota masyarakat mengetahui, mengerti, menghargai, dan
menginginkan keberadaan norma yang mengatur pola perilaku dalam masyarakat demi
terciptanya kehidupan yang tertib dan aman. Namun, dalam pelaksanaannya selalu ada
penyimpangan. Karena itu, norma harus selalu disosialisasikan, sehingga tumbuh kesadaran
bersama dari seluruh anggota masyarakat untuk menaati norma tersebut.
Selain hal-hal di atas, agar aturan-aturan atau norma-norma sosial dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat, maka norma-norma tersebut harus melembaga (institutionalized). Agar
norma sosial bisa melembaga, maka sebelumnya harus diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai
oleh warga masyarakatnya.
1. Diketahui
Gejala awal dari suatu aturan sosial yang telah melembaga adalah apabila norma-norma
tersebut telah diketahui oleh setiap anggota masyarakat, namun taraf pelembagaannya masih
lemah. Contoh: seorang murid tentu akan mengetahui tata tertib di sekolah.
2. Dipahami
Taraf pelembagaan akan meningkat apabila setiap anggota masyarakat memahami fungsi dari
suatu lembaga sosial. Contohnya: setiap anggota masyarakat memahami bahwa sekolah
bukan hanya sebagai lembaga sosial yang memuat peraturan dan tata tertib yang harus ditaati
oleh seluruh siswa. Sebagai perwujudan lembaga pendidikan, sekolah juga harus
memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat.
3. Ditaati
Menaati norma dalam bentuk sikap dan prilaku yang selaras aturan-aturan sosial merupakan
indikasi bahwa taraf pelembagaan suatu norma berkembang pada taraf yang lebih tinggi.
Norma sosial senantiasa dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai aktivitas
kehidupan.
4. Dihargai
Pelembagaan suatu norma dikategorikan mencapai taraf sempurna, apabila norma sosial telah
telah tertanam dalam diri setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain, setiap anggota
masyarakat selalu berkeinginan untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma yang
berlaku, serta berupaya agar norma-norma tersebut senantiasa hidup di dalam masyarakat.
Contoh: Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan negara bagi rakyat Indonesia.
Proses pelembagaan (institutionalized) sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi
dapat berlangsung menjadi internalized.dalam masyarakat. Maksudnya adalah suatu taraf
perkembangan dimana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan
dengan perilaku yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain,
norma-sorma sosial telah terinternalisasi dalam setaip anggota masyarakat.

Sistem Pengendalian Sosial (Social control)
Apakah Anda dapat membedakan antara peneddalian sosial dengan pengawasan sosial?
Dalam kehidupan sehari-hari sistem pengendalian sosial seringkali diartikan sebagai pengawasan
oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparaturnya.
Sesungguhnya, pengendalian sosial memiliki arti yang lebih luas yang mencakup pengertian
segala proses, baik yang direncanakan atau tidak, bersifat mendidik, mengajak atau bahkan
memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku.
Jadi pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya
seorang guru mendidik siswanya agar menyesuaikan diri pada aturan-aturan yang berlaku di
sekolahnya), dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok (misalnya seorang dosen pada
perguruan tinggi memimpin beberapa oranh mahasiswa dalam kuliah-kuliah kerja), dilakukan
oleh suat kelompok terhadap kelompok lainnya. Itu semua merupakan proses pengendalian sosial
dalam kehidupan sehari-hari , yang kadang kurang kita sadari.
Pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Atau suatu sistem pengendalian sosial
bertujuan untuk mencapai suatu keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan
keadilan/keseimbangan.
Berdasarkan sifatnya, pengendalian sosial bersifat preventif dan represif, atau bahkan
kedua-duanya. Prevensi merupakan suatu usaha pencegahan terhadap terjadinya gangguan pada
keserasian. Sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah
mengalami gangguan. Usaha-usaha preventif misalnya melalui proses sosialisasi, pendidikan
formal maupun non formal. Sedangkan represif berwujud penjatuhan sanksi terhadap para warga
masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Suatu proses kontrol sosial dapat dilaksanakan dengan cara tanpa kekerasan (persuasive)
atau dengan paksaan (coersive). Selain kedua cara tersebut, dikenal pula teknik-teknik
compulsion dan pervasion. Compulsion dilaksanakan dengan menciptakan situasi sedemikian
rupa, sehingga seseorang terpaksa taat atau mengubah sikapnya, yang menghasilkan kepatuhan
secara tidak langsung. Sedangkan pada pervasion norma yang ada di ulang-ulang
penyampaiannya dengan harapan bahwa hal tersebut masuk dalam aspek bawah sadar seseorang.
Dengan demikian orang tersebut akan merubah sikapnya, sehingga serasi dengan hal-hal yang
diulang-ulang penyampaiannya itu.
Pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, merupakan salah satu alat pengendalian
sosial yang telah melembaga baik pada masyarakat bersahaja maupun yang sudah kompleks.
Hukum di dalam arti luas juga merupakan alat pengendalian sosial yang biasanya dianggap
paling ampuh, karena lazimnya disertai sanksi tegas yang berwujud penderitaan dan dianggap
sebagai sarana formal.